MAKALAH
POLITIK ISLAM
Sabtu,
Desember 28, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat
pada umumnya. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai,
sejahtera lahir batin, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari system politik
yang diterapka. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak
studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula ajaran
Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga
diyakini mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini,
Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk
oleh Negara dan solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena
semangat agama bias meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh
satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya, dan menuntun mereka ke
arah kebenaran.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, pada makalah ini pemakala akan
memaparkan mengenai masalah politik dalam pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam, prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini. Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.
memaparkan mengenai masalah politik dalam pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam, prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini. Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.
Pada masa sekarang ini,perkembangan ilmu politik semakin maju.Hal
ini membuktikan bahwa politik merupakan salah satu unsur yang penting dalam
kehdupan manusia. Perkembangan ilmu politik yang semakin maju pada suatu
kehidupan misalnya cara manusia menggunakan akal pikiran dalam menangani masalah
kehidupan, dari sudut pandang tersebut maka seorang individu dapat menggunakan
ilmu politiknya dalam menangani suatu problema kehidupan bermasyarakat.
untuk menggunakan ilmu politik
tersebut manusia mendapatkan bimbingan dari berbagai macam bentuk pendidikan
formal, informal, maupun nonformal. Dari pendidikan itulah seorang individu
dapat merealisasikan cara mereka dalam berpolitik. Dalam Negara Indonesia, politik merupakan hal yang sangat prioritas karena politik
membawa Negara ini ke ambang pinti kemajuan, dan juga dalam politik di
Indonesia, orang-orangnya menggunakan cara yang sangat akruat dari yang
lainnya. Beda dengan Negara-negara di luar, seperti Negara-negara Arab yang
menggunakan politik Islam, mereka lebih mengarah kepada satu tujuan dan pedoman
yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan berdasarkan hal tersebut
di atas, maka penulis mengangkat judul laporan ini dengan judul Politik Islam,
yaitu Politik yang mengarah pada perintah dari Al-Qur’an dan Hadist dalam
menjalankannya di kehidupan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
1.2. Perumusan Masalah
Dengan mengetahui uraian singkat di atas, tentu dapat kita bedakan
apa pengertian dari politik islam itu sendiri. Sehingga, dengan demikian kami
dapat membuat pertanyaan yang mengarah kepada hal tersebut. Bertitik tolak dari
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana peran politik Islam dalam masyarakat
dan penguasa ?
2. Bagaimana hubungan antara politik Islam zaman
Rasulullah SAW dengan zaman sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Politik
Sejarah politik adalah analisis peristiwa-peristiwa politik,
narasi (oral history), ide,
gerakan dan para pemimpin yang biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan
walaupun berbeda dengan ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan
antara lain dengan bidang sejarah lain seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi,
dan sejarah militer.
Secara umum, sejarah politik berfokus pada peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dengan negara-negara dan proses politik formal. Menurut Hegel,
Sejarah Politik "adalah gagasan tentang negara dengan kekuatan moral dan
spiritual diluar kepentingan
materi pelajaran: itu diikuti bahwa negara merupakan agen utama dalam perubahan
sejarah" Ini salah satu perbedaan dengan, misalnya, sejarah sosial, yang
berfokus terutama pada tindakan dan gaya hidup orang biasa, atau manusia dalam
sejarah yang merupakan karya sejarah dari sudut pandang orang biasa.
2.2. Pengertian Politik
Secara etimologis,
politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti
warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara,
politika yang berarti pemerintahan negara dan
politikus yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang
memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut
zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan
sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti
akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai
kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia
mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih
kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar
menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan
mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik
dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang
dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan
demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan
politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi
kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum
(public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif
melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan
kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun
untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara
yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan
perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki. Namun banyak pula yang
beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau
tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek
kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang,
budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik
selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan
bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan
(individu).
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik. Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupunnonkonstitusional.
Di samping itu politik juga
dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
·
politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik
Aristoteles)
·
politik adalah hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
·
politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
Dalam konteks memahami politik
perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik,legitimasi, sistem
politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk
mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.
2.3. Perilaku Politik
Perilaku politik atau
(Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu
atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang
individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya
guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik
contohnya adalah:
·
Melakukan pemilihan untuk
memilih wakil rakyat / pemimpin
·
Mengikuti dan berhak menjadi
insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas
atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
·
Ikut serta dalam pesta politik
·
Ikut mengkritik atau menurunkan
para pelaku politik yang berotoritas
·
Berhak untuk menjadi pimpinan
politik
·
Berkewajiban untuk melakukan
hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang
telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang
berlaku
2.4. Politik Islam
2.4.1. Pengertian Politik Islam
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik diartikan sebagai
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti
segala urusan dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.
Selanjutnya sebagai suatu
sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan
tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa
dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Dalam bahasa Arab, politik
biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan
dengan politik seperti kadilan, musyawarah, pada mulanya buka ditujukan untuk
masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah
imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-qur’an
digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa
dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan
orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus mengalir atau
berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya (dulatan baina
agniya), kata daulahtersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya
berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan
banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah
pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya
untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.
Namun dalam perkembangan
selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut
digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta
hal-hal lainnya yang terkait dengannya.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam
sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi
(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para
khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah
itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam
politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir
dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam
rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati
pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi
kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits
terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan
dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas
urusan seluruh umat Muslim.Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat
terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan
sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam.
Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang
dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari
kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan
sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik
tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya
bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu
propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam).
Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak
cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman,
pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau
tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam
memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan
untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah,
hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok
atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka.
Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada
lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu
Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang
mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga
ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan
urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas
pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik.
Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk
mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli
politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht
anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan
perjuangan kekuasaan).
Adapun umat Islam berbeda
pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam. Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah
satu agama yang serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem
ketatangaraan atau politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih
Siyasah merupakan integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini
berpendapat bahwa sistem keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang
telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur rasyidin, yaitu
sistem khalifah.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat
(sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau
sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul,
seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan agama bukan
sebagai pemimpin dan pengatur Negara.
Pendapat ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap
yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem
ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat
barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Namun perlu diingat, sejarah
membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala agama beliau adalah
sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah
sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan
Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan
beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil
kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Khalifah. Sistem
pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung hingga kepemimpinan
dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
S emua orang mengakui bahwa
semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-sama para mukmin di
Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan
ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata
aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan
kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita
lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau demikian,
dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang
bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi
segi-segi kebendaan (maddiyah) dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah)dan
dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah.
2.4.2. Sejarah Politik Islam
a) Politik Islam Masa Nabi
Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan
d ari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah
dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang
mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat
sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh
kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam
merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Na bi
Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan
penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir
dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa
Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh
beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi.
Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan
kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu,
perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi
dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan
berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung
mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu
dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat
dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution
dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah
prsoalan politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari
dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar
Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan
agama Islam sehin ,
gga secara
otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap
kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar
Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi
karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat
Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah peristiwa Ikrar
Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya
dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib.
Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari
masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas dan penuh dengan
perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para
pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.
Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak
politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis,
yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan
terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari
tuhan
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan
sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam
mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa
politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di
Madinah.
Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara
prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam,
kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis
besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu
Romawi dan Persia.
Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali
adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini
bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat
utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi
Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum
yang tercatat sebagai piagam Madinah.
Piagam ini merupakan dokumen politik yang
telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua
puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya
kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak
kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki
peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang
berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan,
kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.
Menurut al-Sayyid Muhammad
Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan
bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang
prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Para sejarawan berselisih pendapat dalam
menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota
Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi.
Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari
perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai
seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi
masyarakat?
Perbedaan
pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik
menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem
politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau
jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan
berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan
sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang
sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur
akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi
masyarakat.
Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat
Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa
perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan
menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya
dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah
sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang
paling demokrasi. Namun, jika kita menilik
makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang beras al dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena
secara
b) Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin
Sejarah perkembangan umat Islam yan mengalami
pancaroba dan maju-mundur sebenarnya dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini
ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem perpolitikan dan keagamaan
dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan berdasarkan pada
landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah
perkembangan umat Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai
dengan munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem
politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui
jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa
ini bercorak aristokrat demokratik
Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik
ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin sebagai pengganti Nabi tidak
terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin anshar berkumbul di
serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin. Dalam musyawarah
tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara
lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim
anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal
dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah
selama kurang lebih 13 tahun namun dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang
mampu melindunginya dari siksaan kaum kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi
Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa bisa melakukan misi dakwahnya
dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam
mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat
bahwa syarat menjadi seorang pemimpin pengganti Nabi Muhammad harus berasal
dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali
percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui perdebatan yang sangat
panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan
perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad.
Namun, dalam salah satu sumber mengatakan
bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri
oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd.
Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai
khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama.
Menurut riwayat dikatakan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat
yang paling dekat dengan Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali
masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga
lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.
Pidato keneg araan yang
dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan
menggunakan prinsip-prinsip modern
yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah pertama yang menerangkan sistem
pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq merupakan
khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh
umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur
politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq
adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb
al-riddah.
Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar
al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah
khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa
al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil
kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh
dan berwibawa.
Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan
Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, menjadikan khalifah pertama ini bertindak
preventif dalam menentukan dan memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar
al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk
menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum
muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai
khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah
Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa
tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh
dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara
dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh
keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa
khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena para pengikut Ali ibn Abi
Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan
dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan
kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan
yang notabeni berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari
kaum Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas
sebagaimana pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah
pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).
Gerakan makar oleh sebagian golongan
dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menentang kebijakan politik
khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib sebagai
justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam peristiwa
tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk
Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh
yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah Utsman
ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn Thalib.
Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam
keadaan terbunuh, maka kaum muslimin memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib
sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum
muslimin terbagi menjadi tiga golongan. Pertama; golongan yang
menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh sebagian
besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak
pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha,
al-Zubair dan Mua’wiyah, mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi
Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman ibn 9g Affan. Ketiga; golongan yang
memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua golongan di atas. Golongan ini
didukung oleh sebagian besar para pembesar umat Islam dari kalangan para
sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id
ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid, Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn
Salamah. Dari berbagai golongan di atas, muncullah beberapa aliran dalam
tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah
khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa khilafah merupakan
pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu men genal
perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah
tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn
Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama nasrani, Utsman ibn
Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya diserang dengan tuduan
pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh ketika sedang dalam
perjalanan menuju masjid.
c) Politik Islam Masa dari
Khilafah Menuju Daulah
Jika kita mengkaji secara teliti sejarah
perkembangan Islam, maka kita akan menemukan beberapa pola atau perubahan yang
sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat
instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal yang akan terjadi
di masa mendatang.
Di sinilah kita akan menemukan pola
perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan sejarah, Muawiyah (pendiri
Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada tahun 660, pada masa
khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan
perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua
bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn
Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.
Namun secara garis besar, kepemimpinan
Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib
meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting
point perubahan sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju
sistem daulah.
.
2.4.3. Prinsip-prinsip Dasar
Politik Islam
Menurut teori Islam, dalam mekanisme
operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip
syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari
(1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat)
bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara
adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan
mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan
Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama
manusia dan alam lingkungannya
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut
ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks
syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang
merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip dasar politik
adalah: pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu
merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik
Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori
politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976:
147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah
adalah landasan dari sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul
Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat
politik dalam Islam.”
Kedua, syura dan ijma’.
Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui
konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui
pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah
otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah
tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara
dijamin hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam
bukunya Arkan Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu
dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan, harga diri dan harta
benda, kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan
pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk
melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara,
meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah
sekalipun, mesti tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada
hukum-hukum dan peraturan negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi
warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara
ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang
memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr),
Keenam, ikhtilaf dan
konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan
berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat
2.4.4. Ciri-ciri Politik Islam
Dalam pelaksanaannya politik islam memiliki beberapa ciri-ciri
yang sangat mengikat pada politik islam itu, diantaranya :
1. Rabbaniyah
Rabbaniyah merupakan suatu system politik islam yang bersumber
dari wahyu Allah Azza wajala, yaitu Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih.
2. Syumul
Pengertian dari syumul itu adalah segala perkara yang menyangkut
urusan duniawiyah ataupun ukhrowiyah. Dimana dalam perkara ini memang meliputi
semua sisi kehidupan manusia.
3. Muwafiqotul fithrah
Yaitu aturan yang sesuai dengan fitrah atau sifat dasar manusia.
Maksudnya adalah bahwa politik islam dalam hal ini sangat menyeimbangkan antara
hak dan kewajiban pemerintah dengan rakyatnya.
4. Nizhomul Akhlak
Nizhomul akhlak yaitu dasar dalam politik islam yang selalu
menekankan terhadap pembinaan akhlak yang mulia, seperti halnya sikap adil dan
bijaksana serta perbuatan terpuji, juga melarang semua perbuatan yang tercela,
sehingga politik politik islam itu tidak pernah melegalkan perjudian,
pelacuran, miras dan narkoba apapun alasannya. Karena memang semua itu sudah
dilarang oleh agama.
2.4.5 Peran Politik Islam
1. Peran Kepala Negara dalam Politik Islam
Untuk mengurusi tanggung jawab kepentingan masyarakat, maka secara
syara’ tanggung jawab itu diberikan kepada penguasa, dan penguasa disini bias
dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah). Inilah yang dapat menjadikan peran
kepala Negara dalam politik islam, yaitu :
a) Menjalankan hukum islam sebagai konstitusi Negara.
b) Bertanggung jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.
c) Mengangkat dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.
d) Berhak menerima dan menolak duta-duta asing.
2. Peran Masyarakat dalam Politik Islam
Tidak jauh berbeda dari peranan
kepala Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai peran dalam
menjalankan kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa). Sebagaimana yang telah
difirmankan oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
.
BAB III
PENUTUP
Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok
atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para
Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi
berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah
yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang
mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga
ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang
penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan
urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat
politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan
sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan
perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati
dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang
berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht”
(politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam
meliputi:
1. Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,
2. Siyasah Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,
3. Siyasah Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan,
pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara
Sehingga dari penjelasan-penjelasan diatas
dapat kita simpulkan bahwa politik islam itu memang mempunyai keaktifan dan
keterkaitan dalam perannya pada suatu negara. Karena memang peraturan-peraturan
dan asas-asas yang ada dalam politik islam itu bersumber dari Allah SWT, Tuhan
semesta alam. Bukan dari ide-ide, gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran manusia
yang kadang masih diselimuti oleh kelemahan dan kekurangan. Sehingga politik
islam yang berasal dari Allah SWT ini mampu bersikap adil antara golongan yang
satu dengan yang lainnya, tanpa membebani atau memberatkan salah satu pihak.
.k
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
ReplyDeleteKaos Dakwah Terbaru
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu